Jumat, 22 Mei 2015

Curhatan Seorang Ibu

seorang UMI berkata " putriku sayang segala-galanya yang dicpta Allah SWT berharga di dunia dilindungi dan sukar untuk kita dapat.
Di manakah menemukan berlian? Jauh ke dalam tanah, ditutup dan dilindungi.
Di manakah kita menemukan mutiara? Jauh di bawah lautan, ditutup dan dilindungi dengan cangkang yang indah.
Di manakah kita menemukan emas? Jauh ke dalam tanah, ditutup dengan lapisan dan lapisan batu. Kita perlu bekerja keras untuk mendapatkannya. "
Umi memandang saya dengan mata yang serius.
"Tubuhmu suci wahai anakku. Kau jauh lebih berharga daripada berlian dan mutiara, dan harus ditutupi dan dilindungi juga. "
Wahai para orangtua, ajarilah puterimu memakai jilbab syar'i sejak kecil, sehingga saat dia dewasa sudah terbiasa, dan kebiasaan itu sudah mendarah daging dalam dirinya.
Mendidik anak untuk berhijab syar'i lebih mudah daripada mendidik wanita yang sudah dewasa, karena tabiat anak kecil mudah untuk meniru dan mudah diajari. Anak kecil juga masih polos dan hatinya masih suci, sehingga mudah diarahkan ke jalan kebaikan.
Sungguh, orangtua berkewajiban mendidik anak-anaknya untuk menjalankan kewajiban-kewajiban agama, dan mengajarkan ilmu agama kepada anak-anaknya. Dan barangsiapa lalai dalam mendidik anak-anaknya maka turut menanggung dosanya.
wallahu'alam bisshawwab

Dan akhirnya umi menulis surat untuk putrinya 


Anakku…
Ini surat dari umi yang tersayat hatinya. Linangan air mata bertetesan deras menyertai tersusunnya tulisan ini. Aku lihat engkau wanita yang kuat lagi mempesona. Sejak dokter mengabari tentang kehamilan, aku berbahagia. Ibu-ibu sangat memahami makna ini dengan baik. Awal kegembiraan dan sekaligus perubahan psikis dan fisik. Sembilan bulan aku mengandungmu. Seluruh aktivitas aku jalani dengan susah payah karena kandunganku. Meski begitu, tidak mengurangi kebahagiaanku. Kesengsaraan yang tiada hentinya, bahkan kematian kulihat didepan mataku saat aku melahirkanmu. Jeritan tangismu meneteskan air mata kegembiraan kami.
Berikutnya, aku layaknya pelayan yang tidak pernah istirahat. Kepenatanku demi kesehatanmu. Kegelisahanku demi kebaikanmu. Harapanku hanya ingin melihat senyum sehatmu dan permintaanmu kepada umi untuk membuatkan sesuatu.
Masa remaja pun engkau masuki. Keangunanmu semakin terlihat, Aku pun berikhtiar untuk mencarikan bujang yang akan mendampingi hidupmu. Kemudian tibalah saat engkau menikah. Hatiku sedih atas kepergianmu, namun aku tetap bahagia lantaran engkau menempuh hidup baru.
Seiring perjalanan waktu, aku merasa engkau bukan anakku yang dulu. Hak diriku telah terlupakan. Sudah sekian lama aku tidak bersua, meski melalui telepon. Ibu tidak menuntut macam-macam. Sebulan sekali, jadikanlah ibumu ini sebagai persinggahan, meski hanya beberapa menit saja untuk melihat anakku.
umi sekarang sudah sangat lemah. Punggung sudah membungkuk, gemetar sering melecut tubuh dan berbagai penyakit tak bosan-bosan singgah kepadaku. Ibu semakin susah melakukan gerakan.
Anakku…
Seandainya ada yang berbuat baik kepadamu, niscaya umi akan berterima kasih kepadanya. Sementara umi telah sekian lama berbuat baik kepada dirimu. Manakah balasan dan terima kasihmu pada umi ? Apakah engkau sudah kehabisan rasa kasihmu pada umi ? umi bertanya-tanya, dosa apa yang menyebabkan dirimu enggan melihat dan mengunjungi umi ? Baiklah, anggap umi sebagai pembantu, mana upah umi selama ini ?
Anakku...
umi hanya ingin melihatmu saja. Lain tidak. Kapan hatimu memelas dan luluh untuk wanita tua yang sudah lemah ini dan dirundung kerinduan, sekaligus duka dan kesedihan ? umi tidak tega untuk mengadukan kondisi ini kepada Dzat yang di atas sana. umi juga tidak akan menularkan kepedihan ini kepada orang lain. Sebab, ini akan menyeretmu kepada kedurhakaan. Musibah dan hukuman pun akan menimpamu di dunia ini sebelum di akhirat. Ibu tidak akan sampai hati melakukannya,
Anakku…
Walaupun bagaimanapun engkau masih buah hatiku, bunga kehidupan dan cahaya diriku…
Anakku…
Perjalanan tahun akan menumbuhkan uban di kepalamu. Dan balasan berasal dari jenis amalan yang dikerjakan. Nantinya, engkau akan menulis surat kepada keturunanmu dengan linangan air mata seperti yang Ibu alami. Di sisi Allah, kelak akan berhimpun sekian banyak orang-orang yang menggugat.
Anakku..
Takutlah engkau kepada Allah karena kedurhakaanmu kepada umi. Sekalah air mataku, ringankanlah beban kesedihanku. Terserahlah kepadamu jika engkau ingin merobek-robek surat ini. Ketahuilah, "Barangsiapa beramal shalih maka itu buat dirinya sendiri. Dan orang yang berbuat jelek, maka itu (juga) menjadi tanggungannya sendiri".
Anakku…
Ingatlah saat engkau berada di perut umi. Ingat pula saat persalinan yang sangat menegangkan. Ibu merasa dalam kondisi hidup atau mati. Darah persalinan, itulah nyawa Ibu. Ingatlah saat engkau menyusui. Ingatlah belaian sayag dan kelelahan Ibu saat engkau sakit. Ingatlah ….. Ingatlah…. Karena itu, Allah menegaskan dengan wasiat : "Wahai, Rabbku, sayangilah mereka berdua seperti mereka menyayangiku waktu aku kecil".
Anakku…
Allah berfirman: "Dan dalam kisah-kisah mereka terdapat pelajaran bagi orang-orang berakal" [Yusuf : 111]
Pandanglah masa teladan dalam Islam, masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup, supaya engkau memperoleh potret bakti anak kepada orang tua.
#KartUN Muslimah ;)